Minggu, Oktober 06, 2019

Toba Dan Samosir

Photo by Liv Bruce on Unsplash

Seperti hari-hari biasanya. Pagi hari ia sudah berangkat ke ladang untuk bertani. Karena hidup soerang diri, tanpa ayah dan juga ibu terkasih. Tapi hal itu tidak membuatnya patah semangat, justru semakin bekerja dengan giat. Ia adalah pemuda yatim piatu yang bernama Toba. Selain berladang ia juga suka memancing ikan. Hasil tangkapannya akan dijadikan lauk untuk dimakan, dan sebagian lagi akan dijual, agar menambah penghasilan.

Ia dikenal sangat santun oleh warga sekitar. Tinggal di sebuah gubuk sederhana, bekas peninggalan orang tuanya. Ia juga rajin beribadah. Selalu pergi ke surau untuk melakukan sholat berjama'ah. Sungguh pemuda yang dipenuhi keimanan di jiwa. Suatu sore ia pergi ke danau untuk memancing. Membawa lengkap peralatannya. Sesampainya di pinggir danau  ia segera menebar jala, menunggu ada ikan yang tertangkap, ia berzikir dalam hati. Mengingat Sang Maha Pencipta.

Alhamdulillah, tak lama kemudian. Ikan pun didapat. Ukurannya besar, bersisik warna keemasan. Dengan perasaan puas, Toba pun segera pulang ke rumah. Sambil membayangkan, ikan hasil tangkapannya akan ia goreng, dan dimakan dengan disertai nasi hangat. Sungguh lezat.

Ditengah lamunannya itu ia berselisih jalan dengan wanita cantik nan solehah.  Fatimah namanya, anak Pak Haji yang tinggal tidak jauh dari rumah Toba. Masing-masing mereka tidak bertatapan muka, saling menjaga keimanan dengan menundukkan pandangan.

Setiap sore, Fatimah memang pergi mengaji ke surau bersama para warga lainnnya. Perjumpaan hari itu, menimbulkan terbesit dalam hati Toba untuk melamar Fatimah. Beberapa hari kemudian, dengan memberanikan diri, walaupun sangat gugup di dalam hati.

Toba melangkahkan kaki, untuk meminang sang pujaan hati. Bertemu dengan Pak Haji, yang merupakan orang tua Fatimah. Toba menyampaikan maksud dan tujuan ia berkunjung ke rumah itu. Dengan senang hati Pak Haji menyambut baik kedatangan Toba. Menyiapkan cemilan dan secangkir kopi untuk dinikmati sang tamu tersebut. Berbincang-bincanglah mereka. Cukup lama, dan cukup banyak yang dibahas. Masalah pernikahan memang harus serius untuk dibicarakan. Pak Haji tak lantas menolak ataupun menerima, namun,  meminta waktu kepada Toba untuk menjawab lamaran tersebut. 

Istikharah harus dilakukan, untuk meminta petunjuk kepada Sang Ilahi. Agar mendapat hasil pemikiran yang terbaik yang kelak akan berdampak pada masa depan Fatimah maupun Toba. Berhari-hari menunggu jawaban, sambil masing-masing diri terus memperbaiki diri menjadi yang terbaik. 

Meningkatkan ibadah setiap hari.
Tidak perlu memutuskan pernikahan secara terburu-buru. Karena menikah bukan perkara cepat, namun tepat. Walaupun ada perasaan khawatir yang selalu datang dalam hati Toba, karena takut lamarannya ditolak. Tetapi, ia berusaha untuk tetap tenang dan selalu berdo’a. Agar diberikan jawaban yang terbaik.

Setelah sekian hari lamanya, memikirkan, mempertimbangkan, dan menilai kepribadian Toba yang santun dan rajin beribadah. Toba pun dipanggil untuk datang kembali ke rumah Pak Haji. Dengan maksud untuk memberitahu bahwa Fatimah dan kedua orangtuanya setuju, menerima lamaran pernikahan tersebut.

Rasa senang, bahagia, terharu menjadi satu dalam diri Toba. Lamaran dengan sepenuh hati telah diterima. Pernikahan pun dilaksanakan, mengundang para tetangga dan sanak saudara. Para tamu undangan dipisahkan tempatnya antara laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi campur baur. Visi-misi pernikahan terpampang dengan jelas. Kelak akan membangun keluarga yang taat beribadah, mencintai Allah dan Rasulullah. Berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Hadist. Saling memahami satu sama lain.

Saling mengerti hak dan kewajiban yang harus dijalani, sebagai seorang istri dan suami. Selesai acara pernikahan, merek berdua tinggal di gubuk sederhana milik Toba. Hidup dengan kebahagiaan, tidak merasa kekurangan. Karena rezeki sudah diatur oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Rezeki diberikan sesuai yang dibutuhkan bukan diinginkan. Jika selalu bersyukur atas apapun yang ada maka, akan terasa cukup. Tidak perlu mengeluh, malah justru akan menambah keresahan di dalam hati. Jika sudah merasa cukup, hati pun akan tenang. InsyaAllah rezeki akan tetap mengalir. Bukan hanya harta. Kesehatan, teman yang baik, kemudahan dalam segala urusan, juga merupakan rezeki yang diberikan Allah.

Pernikahan antar Toba dan Fatimah kian terasa lengkap dengan hadirnya seorang buah hati yang telah dinanti. Sembilan bulan lamanya Fatimah mengandung, penuh kesabaran dan ketabahan. Masa-masa kehamilan yang selalu ditemani oleh sang suami. Kini telah lahir seorang bayi yang tampan, dan juga sehat. Bayi lelaki itu diberi nama Samosir. Kehadirannya sungguh menyenangkan. Menjadi obat penghilang rasa kelelahan, setelah seharian bekerja di ladang. 

Tangisannya, tawanya sangat menggemaskan. Walaupun harus terbangun tengah malam, karena Samosir kecil perlu diganti popoknya setelah buang air. Atau hanya sekedar terbangun setelah bermimpi. Dan ingin merasakan pelukan hangat untuk kembali tidur. Tingkah laku bayi yang hanya terjadi sekali, sayang untuk dilewatkan. Karena jika sudah beranjak dewasa. Akan memiliki kehidupannya sendiri. Terkadang Samosir kecil, sering dibawa Toba ikut memancing di danau.

Atau bermain di ladang. Duduk di gubuk sawah, beratapkan daun rumbia, angin sepoi-sepoi. Membuat mata Samosir mengantuk. Membelai sambil menendankan sholawat Nabi, kerap Toba lakukan untuk menidurkan anaknya. Samosir kecil, tumbuh dengan sehat dan penuh kasih sayang. Bulan demi bulan, tahun demi tahun. Kini ia mulai bersekolah. Belajar dengan giat, penuh kesungguhan. Mempelajari banyak hal, agar dewasa nanti dapat membuat orang tua bangga. Bahkan hapalan Al-Qur’annya sudah banyak. Mengajinya sudah beberapa kali khatam.

Al-Qur’an bukan hanya dibaca dan dihapal. Namun, juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sholat berjama’ahdi surau dengan ayahnya. Santun kepada semua orang. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda.

Prestasi di sekolah juga sangat memuaskan. Selalu juara kelas. Ibunya sering mengajaknya mengaji di rumah, selepas mengaji Al-Qur’an, dilanjutkan dengan membaca buku-buku pelajaran. Buku merupakan jendela dunia, begitulah pesan ibunya. Dengan membaca buku wawasan akan bertambah.

Di suatu siang hari, selepas pulang sekolah. Fatimah menyuruh Samosir untuk mengantarkan makanan untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Mendengar perintah dari ibunya, Samosir segera membawa rantang yang berisikan nasi hangat, ikan goreng dan juga sayur-mayur kesukaan sang ayah. Berjalan menyusuri desa dengan hati-hati agar makanan yang ia bawa tidak tumpah atau terjatuh.

Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang kakek tua. Tubuhnya kurus, badannya bungkuk karena termakan usia. Kulitnya berkeriput, panasnya matahari juga membuat tubuhnya menghitam. Kakek tua itu menghampiri Samosir dan meminta makanan.

Tangannya gemetar karena menahan lapar yang sangat tak tertahankan. Ada rasa sedikit keraguan dalam hati Samosir jika ia memberikan makanan yang sedang ia bawa, maka ia takut akan dimarahi. Karena ayahnya sudah menunggu di ladang dengan perut yang juga sangat lapar. 

Setelah bekerja seharian, menguras tenaga.
Samosir kembali bingung. Kasihan kakek tua yang kini ada dihadapannya. Jika ia kembali ke rumah dan mengambil makanan, akan membutuhkan waktu yang lama. Pada akhirnya, dengan menghilangkan segala keraguan yang ada di dalam pikirannya. Ia memberikan makanan tersebut kepada Kakek Tua itu.

Diajaknya Kakek Tua itu duduk di sebuah saung, yang biasa digunakan warga desa untuk berkumpul. Lalu, Samosir membuka rantang yang berisikan makanan yang hendak ia berikan kepada ayahnya. Namun, makanan itu diberikan kepada Kakek tua yang kini sedang melahap makanan tersebut. 

Ketika bertemu ayahnya nanti, ia bertekad akan menjelaskan tentang kejadian ini dengan sejujur-jujurnya. Karena dia hanya ingin menolong orang yang sedang kelaparan ini. Ketika sudah selesai makan, Kakek Tua itu segera pamit dan tak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada Samosir, karena telah membantunya. Samosir segera membereskan rantang makanan itu, dan segera bergegas melanjutkan perjalan menuju ladang tempat ayahnya yang telah lama menunggu. Sesampainya di sana, ia segera berlari-lari di jalan setapak persawahan.

Rantang yang tadi berat, sekarang sangat terasa ringan. Bahkan sampai menimbulkan bunyi, ketika Samosir menggoyangkannya. Dari kejauhan ayahnya melihat, Samosir yang berlari secara terburu-buru. Dengan nafas yang terengah-engah karena habis berlari, Samosir segera duduk di gubuk yang ada di ladang.

Ayahnya yang sudah sedari tadi menunggu disitu, coba menenangkan Samosir. Ketika sudah tenang, Samosir menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di tengah perjalanan tadi, sambil menunjukkan rantang makanan yang kini sudah kosong. Rasa takut kembali hadir, ia khawatir akan dimarahi.  Namun, ternyata, justru sebaliknya.

Ayahnya tersenyum, sambil menepuk-nepuk pundak Samosir dengan pelan. Justru muncul rasa bangga dalam hati Toba karena memiliki anak seperti ini. Tidak mementingkan diri sendiri. Justru mau membantu sesama. Samosir sedikit bingung dengan keadaan yang sekarang ia alami. Karena ayahnya yang ia kira akan marah, justru tersenyum melihatnya. Untuk menghentikan kebingungan itu, Toba mencoba menjelaskan kepada anaknya. Bahwa perbuatan itu sangat benar, bahwa harus saling tolong menolong. Dan tidak perlu marah dengan kejadian itu, justru bangga yang dirasakan.

Karena makanan yang hendak dibawa sudah habis, maka Toba berinisiatif untuk mengajak anaknya pulang, dan makan bersama-sama di rumah. Begitulah seharusnya orang tua, mendidik anak dengan tindakan bukan hanya perkataan. Karena awalnya, anak-anak suka mencontoh perilaku orang tua. Kedua orang tua Samosir selalu mengajarkan tingkah laku yang baik dan benar. Saling tolong menolong ke sesama. Jika pun berbuat salah, maka cukup diberi tahu letak kesalahan tersebut dan dijelaskan bagaimana tindakan yang semestinya.

Karena sifat kedermawanan mereka tersebut, para warga sepakat. Bahwa danau yang ada di desa itu diberi Nama Toba, dan pulau kecil yang terletak di tengah-tengahnya dinamai Samosir. Hal itu dilakukan, untuk menghormati, karena ayah dan anak itu sangat berbudi luhur.

Sebelumnya
Selanjutnya

1 komentar:

  1. keereeeeen. bisa ngeremake cerita danau toba dan pulau samosir menajadi syarat akan ilmu. Ilmu buat jomblo juga ada, datangi Bapaknya baru lelaki. ehehe

    BalasHapus