Kamis, Oktober 31, 2019

Keyboard Biru (2)



Photo by Nhu Nguyen on Unsplash
(2)
Suatu ketika pernah, ada peristiwa yang tidak pupus dari ingatan. Saat sedang mengobrol, sambil menyantap buah jambu yang dibawa oleh salah seorang teman, niatan ingin berfoto sebagai kenang-kenangan. Karena pada saat itu berada di penghujung akhir sekolah menengah pertama. Mendekati kelulusan. Namun, ada yang aneh.

Gambar itu diambil bersebelahan dengan seorang teman. Di sebaris itu hanya ada dua orang. Namun, penglihatan ganjil terjadi. Dilihat dengan seksama dan penuh perhatian. Aneh. Benar-benar aneh.

“Woy teman-teman, lihat ini potonya, kenapa bisa jadi begini ya?”,sambil menyodorkan handphone yang sedang dipegang.

“Maksudnya? Aneh kenapa?”, tanya seorang teman keheranan.

“Tadi fotonya berdua, ini hasilnya bertiga”.

Seketika keadaan langsung menjadi hening. Situasi ramai dengan suara obrolan, mendadak menjadi diam. Masing-masing saling melihat sekeliling. Memastikan, bahwa yang berada di ruangan kelas itu hanya ada mereka. Tidak lebih dan tidak kurang. Namun, kenapa difoto itu bisa bertambah jumlahnya.

“Yaudah, itu fotonya dihapus aja Uci”.

“Iya ini, ku hapusaja ya, jadinya serem gini”.

Lancar jari mencari menu pilihan untuk menghapus foto tersebut. Membuat jantung berdebar, karena tebersit rasa takut dengan keanehan yang baru saja terjadi. Kembali menyantap buah jambu, namun pikiran cemas dan penasaran masih menggelayut dalam pikiran. Atmosfir dalam ruangan kelas itu pun turut menjadi tidak karuan. Tidak ingin terulang kembali, segera Uci dan teman-temannya  keluar dari tempat itu. Menuju lapangan olahraga, di sana lebih banyak murid-murid sedang berkumpul.

Sejumput kenangan di penghujung kelulusan sekolah menengah pertama. Berkesan hingga kini. Terdapat kenangan dari sebuah benda kecil, yang disebut handphone itu. Karena belum memiliki spesifikasi untuk memutar musik, maka dulu, mendengarkan radio adalah kegiatan setiap hari yang dilakukan. Bahkan sampai hapal dengan waktu-waktu dimana, lagu-lagu dari band favorit didendangkan. Juga dulu pernah "request", dan tidak lupa untuk mengucapkan salam-salam khas, kepada seluruh para pendengar.

Layaknya gelap malam
Yang indah karna bintang
Layaknya sang penyair
Yang elok karna puisi

Bagiku kau bintang
Selayak puisi
Tetaplah di sini peri kecil ku

Bagiku kau bintang
Selayak puisi


Temani aku selamanya
Selamanya

Sambil mendengarkan lagu, melatih diri menyusun kata-kata. Bait demi bait, bisa menggantikan ucap yang terbungkam. Tidak mengenal majas apapun saat itu, hanya tahu, bahwa dari sajak yang telah dibuat. Ada kalimat-kalimat indah yang bisa menyentuh hati.

Bersambung......

Sebelumnya
Selanjutnya

0 komentar: