Selasa, Desember 10, 2019

Cita-Cita Sederhana

Photo by Miguel Bruna on Unsplash
Masa kini, wanita bisa mencapai apa saja yang ia inginkan. Selagi tekun, rajin belajar, terus berjuang, tidak pantang menyerah, juga tidak melanggar kodratnya sebagai perempuan. Menjadi astronot, ilmuwan, penulis, koki, pengusaha, dokter, tenaga pendidik dan lain-lain. Zaman akan mendukung, begitu juga dengan segala fasilitasnya.

Sangat berbanding terbalik saat masa-masa penjajahan. Negara Indonesia dulunya pernah dijajah oleh Belanda dengan waktu yang sangat lama yaitu tiga setengah abad. Lalu Inggris pun tidak mau kalah. Dan terakhir ialah Jepang, yang sangat terkenal dengan kerja paksanya. Pada saat itu rakyat miskin akan menjadi target yang sangat mudah terkena dampak. Terutama wanita, masa-masa penjajahan merupakan hal yang menakutkan.

Tidak seperti sekarang baik laki-laki atau perempuan bisa bersekolah dengan taraf yang sama. Dulu masa penjajahan wanita hanya diperbolehkan mengurus rumah. Pria yang berasal dari kalanga bangsawan atau memiliki harta berlimpah yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah.

Seorang penulis Artie Ahmad bercerita tentang kejamnya penjajahan bangsa Nippon saat itu, terutama kepada wanita. Latar waktu sekitar akhir tahun 1943, saat itu Nippon atau negara Jepang masih menjajah wilayah Indonesia. Ada seorang gadis muda yang memiliki cita-cita sederhana namun, pada saat itu akan menjadi hal mewah dan keajaiban jika benar-benar dapat terwujud. Diusia yang masih sangat belia tokoh utama yang diceritakan bernama asli Sudjiati, nama yang diberikan oleh ibunya, ia ingin menjadi pemain sandiwara dan bersekolah.

Diceritakan melalui alur mundur, saat tokoh utama Sudjiati mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang merubah hidupnya dimasa depan. Sebuah keputusan yang sangat ia sesali karena sudah menjerumuskannya ke penderitaan yang tiada henti. Dan sebuah ajakan yang ternyata itu merupakan tipuan belaka. Atas dasar kepercayaan dari polosnya sikap yang ia miliki, menerima iming-iming tawaran yang menggiurkan.

Awalnya kehidupan yang ia miliki tenang dan tentram sebagai pembantu di sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga kaya. Tanpa direncanakan jatuh cinta pada anak bungsu majikannya itu. Hal tersebut menjadi konflik pertama yang tokoh utama alami. Karena sudah jelas bahwa mereka tidak akan dapat berjodoh. Secara latar belakang kehidupan yang berbeda, mereka memiliki sebuah perasaan yang saling terpaut satu sama lain.

Membaca sebuah berita di koran membuat Sudjiati memiliki pikiran yang polos terhadap bangsa Nippon. Surat kabar yang pernah dibacakan oleh sang anak majikan, yang jatuh cinta kepadanya. Seluruh isi dari tulisan berita itu mengatakan hal-hal yang baik bagi penjajah yang telah datang ke Indonesia. Latar tempat yang diceritakan saat ini masih berada di desa tempat

Berawal dari permasalahan tersebut, muncullah sebuah gagasan yang merubah kehidupan Sudjiati secara drastis. Mulanya ia berniat menjauhi sang anak majikan, lalu ditipu oleh seorang kenalan yang membawanya ke sebuah tempat yang jauh, hal ini menjadi puncak konflik. Tadinya ia gadis polos nan lugu, berpikir bahwa akan menjadi pemain sandiwara bahkan dapat bersekolah tanpa biaya. Justru sang tokoh utama terpaksa melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan sama sekali. Namanya pun berubah menjadi mirip nama orang-orang Jepang. Sesuai judul dari cerita pendek ini yaitu Namaku (Bukan) Tamae.

Dari kisah ini kita harus bersyukur dan ada hikmah yang dapat dipelajari, saat ini wanita bisa bersekolah dan belajar sesuai yang diinginkan. Akses untuk mendapatkan segala informasi sangat mudah. Dapat mengenal huruf dan membacanya, telah banyak media elektronik ataupun cetak, bisa mengetahui tentang dunia dalam dan luar negeri secara terperinci. Pada dasarnya kini, siapapun yang memiliki cita-cita bisa meraihnya, menjadi apa saja, diri sendirilah yang menentukan.
Sebelumnya
Selanjutnya

2 komentar: