Photo by Miguel Bruna on Unsplash |
Masa
kini, wanita bisa mencapai apa saja yang ia inginkan. Selagi tekun, rajin
belajar, terus berjuang, tidak pantang menyerah, juga tidak melanggar kodratnya
sebagai perempuan. Menjadi astronot, ilmuwan, penulis, koki, pengusaha, dokter,
tenaga pendidik dan lain-lain. Zaman akan mendukung, begitu juga dengan segala
fasilitasnya.
Sangat
berbanding terbalik saat masa-masa penjajahan. Negara Indonesia dulunya pernah
dijajah oleh Belanda dengan waktu yang sangat lama yaitu tiga setengah abad.
Lalu Inggris pun tidak mau kalah. Dan terakhir ialah Jepang, yang sangat
terkenal dengan kerja paksanya. Pada saat itu rakyat miskin akan menjadi target
yang sangat mudah terkena dampak. Terutama wanita, masa-masa penjajahan merupakan
hal yang menakutkan.
Tidak
seperti sekarang baik laki-laki atau perempuan bisa bersekolah dengan taraf
yang sama. Dulu masa penjajahan wanita hanya diperbolehkan mengurus rumah. Pria
yang berasal dari kalanga bangsawan atau memiliki harta berlimpah yang bisa
mengenyam pendidikan di sekolah.
Seorang
penulis Artie Ahmad bercerita tentang kejamnya penjajahan bangsa Nippon saat
itu, terutama kepada wanita. Latar waktu sekitar akhir tahun 1943, saat itu
Nippon atau negara Jepang masih menjajah wilayah Indonesia. Ada seorang gadis
muda yang memiliki cita-cita sederhana namun, pada saat itu akan menjadi hal
mewah dan keajaiban jika benar-benar dapat terwujud. Diusia yang masih sangat
belia tokoh utama yang diceritakan bernama asli Sudjiati, nama yang diberikan
oleh ibunya, ia ingin menjadi pemain sandiwara dan bersekolah.
Diceritakan
melalui alur mundur, saat tokoh utama Sudjiati mengingat kembali
peristiwa-peristiwa yang merubah hidupnya dimasa depan. Sebuah keputusan yang
sangat ia sesali karena sudah menjerumuskannya ke penderitaan yang tiada henti.
Dan sebuah ajakan yang ternyata itu merupakan tipuan belaka. Atas dasar
kepercayaan dari polosnya sikap yang ia miliki, menerima iming-iming tawaran
yang menggiurkan.
Awalnya
kehidupan yang ia miliki tenang dan tentram sebagai pembantu di sebuah rumah
yang dihuni oleh keluarga kaya. Tanpa direncanakan jatuh cinta pada anak bungsu
majikannya itu. Hal tersebut menjadi konflik pertama yang tokoh utama alami.
Karena sudah jelas bahwa mereka tidak akan dapat berjodoh. Secara latar
belakang kehidupan yang berbeda, mereka memiliki sebuah perasaan yang saling
terpaut satu sama lain.
Membaca
sebuah berita di koran membuat Sudjiati memiliki pikiran yang polos terhadap
bangsa Nippon. Surat kabar yang pernah dibacakan oleh sang anak majikan, yang
jatuh cinta kepadanya. Seluruh isi dari tulisan berita itu mengatakan hal-hal
yang baik bagi penjajah yang telah datang ke Indonesia. Latar tempat yang
diceritakan saat ini masih berada di desa tempat
Berawal
dari permasalahan tersebut, muncullah sebuah gagasan yang merubah kehidupan
Sudjiati secara drastis. Mulanya ia berniat menjauhi sang anak majikan, lalu ditipu
oleh seorang kenalan yang membawanya ke sebuah tempat yang jauh, hal ini
menjadi puncak konflik. Tadinya ia gadis polos nan lugu, berpikir bahwa akan
menjadi pemain sandiwara bahkan dapat bersekolah tanpa biaya. Justru sang tokoh
utama terpaksa melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan sama sekali. Namanya pun berubah menjadi mirip nama orang-orang Jepang. Sesuai judul dari cerita pendek ini yaitu Namaku (Bukan) Tamae.
Dari
kisah ini kita harus bersyukur dan ada hikmah yang dapat dipelajari, saat ini
wanita bisa bersekolah dan belajar sesuai yang diinginkan. Akses untuk
mendapatkan segala informasi sangat mudah. Dapat mengenal huruf dan membacanya,
telah banyak media elektronik ataupun cetak, bisa mengetahui tentang dunia
dalam dan luar negeri secara terperinci. Pada dasarnya kini, siapapun yang
memiliki cita-cita bisa meraihnya, menjadi apa saja, diri sendirilah yang
menentukan.
Wih keren ๐๐๐
BalasHapusTerimakasih bu
Hapus