Minggu, Maret 08, 2020

Pagi Terakhir (Akhir)

Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash
Tiga malam beruturut-turut diadakannya sebuah pengajian. Semua yang dikenal datang dan memberikan do’a terbaik baginya. Masih seperti mimpi, duduk termangu, banyak hal yang menjadi pengganggu. Apa iya? Berharapnya tidak. Namun, itu yang kini sedang berlaku.

Sudah letih menangis, berhari-hari sanak saudara silih berganti datang mengunjungi. Memberi semangat kiranya, tabah, sabar, dan ikhlas. Berkali-kali kata itu terus terucap, telinga mendengarnya dengan seksama, tetapi hati yang tidak mau berkompromi. Apalagi akal yang masih saja menolak, Apa iya? Berharapnya tidak.

Baskara dengan angkuh tetap hadir, perlahan-lahan naik ke atas. Panas menyengat mulai terasa seiring jam yang berlalu. Angin pun sibuk bergemuruh dengan halus.  Mengingatkan hari yang sudah kesekian telah pergi tinggalkan. Ketika semakin condong ke barat, akan ramai suara anak-anak pulang ke rumah. Masih ada rasa menunggu sosok yang ditunggu, walaupun tahu itu hanya kabut berbalut rindu.

Almanak terus memanggil sebuah tugas yang telah ditinggal beberapa tanggal. Esok sudah harus kembali ke kehidupan. Apa iya? Berharapnya tidak. Waktu rasanya turut mati, tapi bagi yang hidup tetap harus melalui. Bumi akan terus berputar pada porosnya, menjadi patokan perubahan pagi yang tidak akan terus bertahan. Menuju siang yang juga akan berakhir dengan petang.

Ada beberapa perut yang tetap harus diisi agar tetap kenyang. Maka kewajiban harus tetap dilaksanakan. Sedihnya hati harus dibenam sedalam-dalamnya. Bukan perkara kuat atau tidak, tetapi kesanggupanlah yang menjadi patokan. Terlalu meratapi juga tidak baik. Walau tertatih tetap harus berjalan.

Perih jangan ditanya
Rasa  terkoyak lebar menganga
Sudah ribuan kata penyemangat diingat
Namun langkah tetap saja berat
Tangis tetap saja menjerat

Apa Iya? Berharapnya Tidak.

Lembayung hari ini sudah berhasil dijejaki. Dengan dijejal segala proses sulit tiap menitya. Sungguh hebat, bagi mereka yang sedang patah namun tetap bisa melangkah. Iya, masih ada senyum dan tawa esok hari, segalanya di dunia ini sudah ada porsinya masing-masing. 

Untuk peristiwa yang tidak pernah diduga, berharap tidak. Akan tetapi tetap terjadi, peristiwa yang membawa pikiran hanyut jauh ke dasar rasa, berteman dengan cahaya yang temaram.

Rasa itu sungguh betah berlama-lama. Mungkin karena yang punya badan enggan menyuruhnya pergi, karena tidak tahu jenis obat apa yang bisa menyembuhkan. Selera pun tidak dengan makanan kesukaan. Hambar tidak berasa, pahit hanya sekedar.

Namun, itu tidak berarti bagi Sang Ayah. Beban kesedihannya sama seperti yang lain, bahkan bisa lebih porsi yang dirasakannya. Sebenarnya ia ingin teriak sekuat-kuatnya, menangis meronta-ronta hendak hantinya. Akan tetapi diam menjadi pilihan, karena sadar menjadi sosok yang terkuat sungguh sangat dibutuhkan untuk momen itu.

Belum lagi kewajibannya menafkahi tetap harus dijalani. Kesedihannya ia batasi, tidak diperlihatkan, tidak diperdengarkan. Kembali merapikan barang perlengkapan pekerjaan. Bekal makanan dan pakaian seragam telah rapi dikenakan. Bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaan, rutinitas wajib untuk dilakukan.

Langganan yang biasa berjumpa pun heran melihatnya. Baru beberapa hari ditinggal pergi oleh anak kesayangan, sudah lanjut bekerja hari ini. Mencoba menghibur dengan satu atau dua kata yang mengajak bercanda. Namun, hanya senyum tipis yang bisa dibalas.

Ingin berlama-lama di rumah dan akan lebih baik bersama dengan keluarga yang masih tersisa. Namun, justru itu mereka yang di rumah harus dikuatkan dengan tindakan, salah satunya dengan melihat kepala rumah tangga sudah bisa aktif bekerja.


(Ini merupakan kisah nyata, beberapa pekan lalu ada saudara yang kehilangan anak bungsunya. Meninggal saat perjalanan menuju sekolah. Dan, Sang Ayah beberapa hari kemudian, walaupun sedih dirasa sudah harus pergi bekerja mencari nafkah).

Semoga pesannya dapat tersampikan, dan selamat membaca. Baca cerita awalnya di Pagi Terakhir (1)
Sebelumnya
Selanjutnya

3 komentar:

  1. Sedih tak terperi, pasti rasa hati. Namun hidup tetap harus berjalan, ada anak dan istri yang harus ternafkahkan.

    Rasa rindu, rasa sesal tak tertahankan. Namun apa daya manusia hanya dapat menerima takdirnya.

    Melihat anak berpulang mendahului orangtua, adalah sesuatu hal yang tak semua orang tua dapat menghadapinya.

    BalasHapus
  2. Syedih....

    Mantap kak tulisannya

    BalasHapus