Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash |
Tiga malam beruturut-turut
diadakannya sebuah pengajian. Semua yang dikenal datang dan memberikan do’a
terbaik baginya. Masih seperti mimpi, duduk termangu, banyak hal yang menjadi
pengganggu. Apa iya? Berharapnya tidak. Namun, itu yang kini sedang berlaku.
Sudah letih menangis,
berhari-hari sanak saudara silih berganti datang mengunjungi. Memberi semangat
kiranya, tabah, sabar, dan ikhlas. Berkali-kali kata itu terus terucap, telinga
mendengarnya dengan seksama, tetapi hati yang tidak mau berkompromi. Apalagi akal
yang masih saja menolak, Apa iya? Berharapnya tidak.
Baskara dengan angkuh tetap hadir,
perlahan-lahan naik ke atas. Panas menyengat mulai terasa seiring jam yang
berlalu. Angin pun sibuk bergemuruh dengan halus. Mengingatkan hari yang sudah kesekian telah
pergi tinggalkan. Ketika semakin condong ke barat, akan ramai suara anak-anak
pulang ke rumah. Masih ada rasa menunggu sosok yang ditunggu, walaupun tahu itu
hanya kabut berbalut rindu.
Almanak terus memanggil sebuah
tugas yang telah ditinggal beberapa tanggal. Esok sudah harus kembali ke
kehidupan. Apa iya? Berharapnya tidak. Waktu rasanya turut mati, tapi bagi yang
hidup tetap harus melalui. Bumi akan terus berputar pada porosnya, menjadi
patokan perubahan pagi yang tidak akan terus bertahan. Menuju siang yang juga
akan berakhir dengan petang.
Ada beberapa perut yang tetap
harus diisi agar tetap kenyang. Maka kewajiban harus tetap dilaksanakan. Sedihnya
hati harus dibenam sedalam-dalamnya. Bukan perkara kuat atau tidak, tetapi
kesanggupanlah yang menjadi patokan. Terlalu meratapi juga tidak baik. Walau tertatih
tetap harus berjalan.
Perih jangan ditanya
Rasa terkoyak lebar menganga
Sudah ribuan kata penyemangat diingat
Namun langkah tetap saja berat
Tangis tetap saja menjerat
Apa Iya? Berharapnya Tidak.
Lembayung hari ini sudah berhasil
dijejaki. Dengan dijejal segala proses sulit tiap menitya. Sungguh hebat, bagi
mereka yang sedang patah namun tetap bisa melangkah. Iya, masih ada senyum dan
tawa esok hari, segalanya di dunia ini sudah ada porsinya masing-masing.
Untuk
peristiwa yang tidak pernah diduga, berharap tidak. Akan tetapi tetap terjadi,
peristiwa yang membawa pikiran hanyut jauh ke dasar rasa, berteman dengan
cahaya yang temaram.
Rasa itu sungguh betah
berlama-lama. Mungkin karena yang punya badan enggan menyuruhnya pergi, karena
tidak tahu jenis obat apa yang bisa menyembuhkan. Selera pun tidak dengan
makanan kesukaan. Hambar tidak berasa, pahit hanya sekedar.
Namun, itu tidak berarti bagi
Sang Ayah. Beban kesedihannya sama seperti yang lain, bahkan bisa lebih porsi
yang dirasakannya. Sebenarnya ia ingin teriak sekuat-kuatnya, menangis
meronta-ronta hendak hantinya. Akan tetapi diam menjadi pilihan, karena sadar menjadi
sosok yang terkuat sungguh sangat dibutuhkan untuk momen itu.
Belum lagi kewajibannya menafkahi
tetap harus dijalani. Kesedihannya ia batasi, tidak diperlihatkan, tidak
diperdengarkan. Kembali merapikan barang perlengkapan pekerjaan. Bekal makanan
dan pakaian seragam telah rapi dikenakan. Bersiap-siap untuk melanjutkan
pekerjaan, rutinitas wajib untuk dilakukan.
Langganan yang biasa berjumpa pun
heran melihatnya. Baru beberapa hari ditinggal pergi oleh anak kesayangan,
sudah lanjut bekerja hari ini. Mencoba menghibur dengan satu atau dua kata yang
mengajak bercanda. Namun, hanya senyum tipis yang bisa dibalas.
Ingin berlama-lama di rumah dan
akan lebih baik bersama dengan keluarga yang masih tersisa. Namun, justru itu
mereka yang di rumah harus dikuatkan dengan tindakan, salah satunya dengan
melihat kepala rumah tangga sudah bisa aktif bekerja.
(Ini merupakan kisah nyata, beberapa pekan lalu ada saudara yang kehilangan anak bungsunya. Meninggal saat perjalanan menuju sekolah. Dan, Sang Ayah beberapa hari kemudian, walaupun sedih dirasa sudah harus pergi bekerja mencari nafkah).
Semoga pesannya dapat tersampikan, dan selamat membaca. Baca cerita awalnya di Pagi Terakhir (1)
Sedih tak terperi, pasti rasa hati. Namun hidup tetap harus berjalan, ada anak dan istri yang harus ternafkahkan.
BalasHapusRasa rindu, rasa sesal tak tertahankan. Namun apa daya manusia hanya dapat menerima takdirnya.
Melihat anak berpulang mendahului orangtua, adalah sesuatu hal yang tak semua orang tua dapat menghadapinya.
Syedih....
BalasHapusMantap kak tulisannya
Kereen tulisannya 👍
BalasHapus