Minggu, Februari 09, 2020

Pagi Terakhir (1)


Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash
Terkadang ada rasa yang harus segera dilawan. Sebuah kisah panjang yang masih harus diperjuangkan, tidak ada kata besok atau nanti. Sekarang dan harus saat ini, semuanya terasa seperti biasa. Banyak peristiwa tapi selayaknya tidak terjadi apa-apa. Beban yang dipikul terlalu berat lebih dari rasa, yang tidak berhak untuk merasa.

Menangis bisa ditahan perih hatinya tidak terlihat. Kewajiban untuk keluarga di rumah. Seorang ayah membanting tulang, bersahabat dengan peluh keringat. Hanya ingin menafkahi pikirnya, itu yang diingatnya.

Padahal anaknya baru saja pergi. Jauh tidak kembali, mendadak terbaring. Baru saja pagi tadi berjumpa. Berpamitan ingin ke sekolah. Telepon berdering seketika, yang di rumah memberi kabar, sedih dan perih ketika berbicara. Terbata-bata berkata, tidak sampai hati menyampaikan. Sang buah hati telah berpulang.

Pagi itu memang tidak seperti kebiasaan. Bangun dan selalu riang, menyempatkan untuk sekedar sebentar menjahili Sang Kakak saat bersiap-siap ke sekolah. Akan tetapi, hampir tidak terdengar sama sekali suaranya. Terlalu banyak diam, hingga berpamitan dengan kata-kata singkat. Keluarga pun tidak merasa ada yang janggal. Mungkin, hanya sedang tidak ingin berbicara.

Pakaian seragam berwarna coklat terakhir yang terlekat. Hanya berjarak beberapa meter,tidak banyak menit yang dibutuh untuk waktu yang telah ditempuh. Kabar sedih itu datang mendadak dari mereka yang berangkat beriringan bersama. Bahwa yang disayang sudah tidak bernyawa.

Masih bingung dengan keadaan. Akan tetapi harus menghadapi kenyataan yang menyedihkan. Segera menuju tempat yang telah disebut, tubuh telah terbujur kaku.Padahal, masih banyak hal yang ingin dilakukan. Perjalanan ke sekolah yang tidak terselesaikan, anak kesayangan telah pergi meninggalkan.

Pagi itu menjadi perjalanan terakhirnya
Pagi itu menjadi seragam terakhir dikenakannya
Pagi itu si ibu menangis
Pagi itu si ayah menangis

Seluruh orang sangat kehilangan
Dengan mendadak ia pergi meninggalkan

Banyak suara yang meronta
Menjerit tak karuan
Menderu Isak tersedu

Pagi itu ia masih ada
Pagi itu juga ia telah tiada

Suara ramai klakson, terang lampu kendaraan menjadi temannya di sepanjang malam. Menyetir melawan kantuk, bersiaga dan waspada. Namun malam itu dihiasi lantunan do'a terbaik untuk ketenangan si bungsu kesayangan. Sang ayah ikut di tengah-tengah barisan. Duduk bersama para tetangga agar anaknya tenang di tempat barunya.

Dering telepon menyeru lekas balik ke rumah. Untuk hari itu, sang ayah tidak menyetir. Memutar balik arah untuk pulang. Momen terakhir mengantarkan anaknya, hari yang sangat mengejutkan baginya. Ia kira akan bekerja seharian, menyetir kendaraan dengan roda-roda besar seperti biasa. Pulang ke rumah jika sudah waktunya dan anggota keluarga dengan jumlah yang utuh akan menyambut kedatangannya. Termasuk si bungsu.

Namun, hari itu harus pulang bekerja lebih awal. Langsung meletakkan pekerjaannya, bergetar tubuh mendengar kabar duka. Sang Ayah mengira hanya kecelakaan biasa, padahal puteranya sudah tidak bernyawa. Jika dengan sakit bisa diobati, bagaimana dengan kehilangan? Tidak akan bisa dimiliki lagi. Beberapa hari akan meratapi, begitu cepat puteranya pergi.

Ingin memutar waktu
Tetapi sudah berlalu
Yang pergi tidak akan kembali
Yang pergi tidak dapat dijumpai lagi

Peluh keringat mencari nafkah
Untuk mereka yang di rumah
Tetapi keluarganya tidak lagi sama
Ada yang tidak bersama

Kue ulang tahun sudah ditempah
Bentuk dan rupa sesuai selera
Tetapi do’a dilantunkan berbeda
Sungguh malang nasib badan
Telah pergi meninggalkan
Sebelumnya
Selanjutnya

1 komentar:

  1. Ikut sedih baca ceritanya mb. Bisa kubayangkan gimana rasa sang ayah saat itu😭

    BalasHapus